Lembah Im Yang Bab 1.

LEMBAH IM YANG

Oleh: Tjan I.D.


 Bab 1.

Sebuah jalan setapak menembusi dua bukit tinggi yang menghimpit sisi kiri dan kanan, sebuah gua mungil dikelilingi rumput ilalang yang  tinggi lagi lebat.terletak persis ditengah bukit itu.

Gambaran semacam ini tidak bersifat porno atau melambangkan “milik” wanita, gambaran itu hanya melukiskan bagaimana tersembunyinya gua dibalik lembah itu.

Saat itu terlihat ada seseorang berdiri lebih kurang tiga empat puluh kaki dari lembah rahasia itu.

Dia adalah seorang pemuda berbaju putih yang berusia dua puluh tiga, empat tahunan, wajahnya tampan, alis matanya tebal, hidungnya mancung dan kulit tubuhnya putih bersih.

Ia sedang berdiri disisi sebuah dinding tebing yang curam sambil mengawasi mulut gua rahasia yang berada puluhan kaki dihadapannya, mulut gua yang setengah tertutup oleh tumbuhan rerumputan aneh berwarna merah.

Setelah memandang berapa saat, ia pun gelengkan kepalanya berulang kali sambil bergumam:

“Dunia memang maha luas, aneka macam keanehan terdapat di mana mana, sungguh tak nyana ditengah himpitan dua bukit yang terjal, diantara tumbuhan rerumputan yang lebat ternyata terdapat sebuah mulut gua yang begitu rahasia, mulut gua menjorok ke sisi kanan, mata air mengalir deras di pintu masuk, betul betul sebuah pemandangan yang sangat menawan…….”

Belum habis ia bergumam, tiba tiba terdengar suara seorang gadis menegur dengan nada merdu:

“Kalau bicara jangan sembarangan, jangan kau nodai tempat suci dunia persilatan…….”

Paras muka pemuda berbaju putih itu kontan berubah memerah, merah dan panas hingga ke ujung telinga.

Sekalipun ia tahu pertama karena ia sedang memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengamati gua rahasia itu, kedua karena suara mata air yang gemericik nyaring hingga gampang mengacaukan pendengaran, tapi dengan mengandalkan reputasinya dalam dunia persilatan ditambah kemampuan ilmu silatnya yang tinggi, kini dirinya dapat didekati seorang gadis tanpa disadari, tak heran kalau peristiwa ini membuatnya sangat jengah….

Belum selesai ia berpikir, kembali nona itu berkata:

“Hey, kenapa tidak bicara? Jangan jangan kau adalah seorang udik yang sudah mabuk kepayang karena kesemsem dengan gua rahasia itu……..”

Buruburu pemuda berbaju putih itu pusatkan kembali konsentrasinya dan perlahan berpaling.

Lebih kurang tiga kaki disudut tebing, berdiri seorang nona berbaju hijau yang berwajah cantik, usianya masih sangat muda.

Pemuda berbaju putih itu adalah seorang jago dari dunia persilatan, bukan saja kungfunya hebat, diapun termasuk seorang lelaki romantis.

Dalam sekilas pandangan, ia segera menangkap dua kelebihan yang dimiliki gadis itu.

Pertama, walaupun usia nona itu baru enam-tujuh belas tahunan, namun ditinjau dari kerutan di dahi, belahan di dada serta tonjolan pada pantatnya, jelas ia sudah lama tidak perawan, apalagi sepasang matanya yang bening memancarkan sinar yang membetot sukma, dapat diketahui kalau dia sangat jagoan dalam soal cowok.

Kedua, ditinjau dari pakaian berwarna hijau yang dikenakan meski indah potongannya namun tidak anggun, cantik namun tidak mewah, dapat diduga kalau status atau kedudukannya tidak terlampau tinggi, paling ia hanya seorang dayang.

Begitu tahu kalau nona cantik berbaju hijau itu bukan termasuk wanita baik baik, pemuda berbaju putih itu segera tertawa tergelak, sahutnya sambil manggut manggut:

“Ucapan nona hanya betul separuh, sekalipun aku bukan orang udik yang tak punya pengalaman, terus terang aku memang sudah mabuk kepayang karena kesemsem menyaksikan gua itu”

“Kenapa kau mabuk kepayang? Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?” kembali nona itu bertanya sambil tertawa.

Perlahan lahan pemuda berbaju putih itu membalikkan tubuhnya, sambil menuding gua rahasia dikejauhan, katanya:

“Coba nona lihat, diantara dua tebing terdapat rumput tebal, dibalik rumput tebal tersembunyi gua kecil,  bukankah letak gua rahasia itu.mirip sekali dengan……..”

Baru mendengar sampai disitu, nona cantik berbaju hijau itu sudah mendesis lirih sambil tertunduk jengah, pipinya merah dadu karena malu.

Pemuda berbaju putih itu mengerling sekejap ke arahnya, kemudian melanjutkan:

“…… Ada air ikan susah hidup, tiada hutan kuda bisa berlarian, tempat itu begitu kecil tapi menawan hati, coba nona pikir, akupun termasuk manusia normal, masa aku tidak terpikat melihat gua mungil yang tersembunyi dibalik rermputan lebat…….?”

Nona berbaju hijau itu mengerling sekejap, serunya:

“Aku lihat selain terpelajar, kaupun kelewat romantis……..”

“Kali ini perkataan nona tepat sekali” kembali pemuda itu menukas sambil tertawa, “orang persilatan memang sering bilang, aku tahu sastra, mengerti ilmu silat, tapi sayang sifatku kelewat romantis, maka mereka menghadiahkan sebuah gelar kepadaku, akulah salah satu dari Hong-liu-sam-kiam (tiga pedang paling romantis)!”

“Haah? Jadi kau adalah Giok Phoa-an (Phoa an kumala) Siau Ling atau Ciong-hay-bu-san (lautan awan dibukit Bu-san) Im Bong-siang dari tiga pedang romantis?”

Pemuda berbaju putih itu tidak menjawab, dengan suara nyaring senandungnya:

“Bila pernah mengarungi lautan awan, apa gunanya air di samudra, bila bukan bukit Wu-san, dimana ada lautan awan…….”

Dengan dua bait syair tersebut, sama artinya kalau dia beritahu si nona bahwa dia adalah Ciong-hay-Bu-san Im Bong-siang yang tersohor dalam dunia persilatan karena ilmu pukulan Ciong-hay-pak-heng sinkun serta dua belas jurus ilmu pedang Wu-san-coat-kiam nya.

 

Wanita cantik berbaju hijau itu tidak mengira kalau pemuda berbaju putih itu adalah seorang tokoh silat kenamaan, cepat dia menjura dan berkata sambil tertawa paksa:

 

“Ternyata Im siangkong yang telah berkunjung, untuk ketidak tahuan budak, harap siangkong sudi memaafkan!”

 

“Boleh aku tahu siapa nama nona?” Tanya Im Bong-siang sambil tertawa.

 

“Aku dari marga Suma bernama Cing-peng”

 

Sekali lagi Im Bong-siang menuding mulut gua rahasia itu dan berkata:

 

“Tadi nona Suma melarang aku memasuki tempat keramat dunia persilatan……..”

 

“Harap Im siangkong jangan marah” tukas Suma Cing-peng tertawa, “kini, aku akan menyambut gembira kunjungan siangkong, bahkan akan kuhantar sendiri untuk menikmati keindahan alam di dalam gua”

 

Im Bong-siang melirik nona itu sekejap, tiba tiba selanya sambil tertawa:

 

“Nona Suma, maafkan kelancanganku, aku rasa kau bukan pemilik gua ini”

 

Mendengar ucapan tersebut Suma Cing-peng sedikit melengak, ditatapnya wajah pemuda itu lekat lekat, kemudian ujarnya:

 

“Darimana Im siangkong tahu kalau aku bukan pemilik gua ini?  Atau mungkin selain memiliki nama besar yang menggetarkan jagad, memiliki kungfu yang hebat, kau pun pandai meramal……”

 

“Aku tak pandai meramal” sambil tertawa Im Bong-siang menggeleng, “aku hanya berpendapat, sekalipun pemilik gua ini adalah seorang wanita, rambutnya pasti tidak sehitam rambut nona Suma, paling tidak rambutnya tentu berwarna merah…….”

 

“Aaah, tepat sekali, rambut pemilik gua ini memang agak merah warnanya, darimana siangkong bisa tahu?”

 

Sambil menuding rumput ilalang berwarna merah yang tumbuh lebat dimulut gua rahasia, sekulum senyuman misterius tersungging diwajah Im Bong-siang, katanya:

 

“Rerumputan yang tumbuh disekeliling gua berwarna merah, sudah pasti rambutnya juga merah. Nona Suma, sekarang kau tentu sudah tahu bukan, aku tak mengerti ilmu meramal nasib, tapi pengetahuanku dalam hal semacam ini memang sedikit lebih luas ketimbang orang lain………”

 

Sejak Im Bong-siang berhasil menebak kalau Suma Cing-peng  bukan seorang gadis perawan lagi, nona ini sudah sadar kalau pemuda dihadapannya sangat menguasahi kepandaian dalam hal ini, tentu saja diapun dapat menangkap maksud dibalik perkataan itu.

 

Kontan saja paras mukanya jadi semu merah, diam diam ia mendesis lirih.

 

“Nona Suma” kembali pemuda itu tersenyum, “boleh aku tahu apa nama lembah ini? Siapa nama pemilik gua berambut merah itu?”

 

“Lembah ini bernama Hian-im-kok (Lembah hawa im), gua itu bernama Siau-hun-tong (Gua pembetot sukma), sedang pemiliknya bernama ………”

 

Belum sempat dia menyebutkan nama dari pemilik gua pembetot sukma, tiba tiba dari arah barat-daya berkumandang suara pekikan yang amat nyaring.

 

Dengan wajah berubah buru buru Suma Cing-peng menjura kea rah Im Bong-siang sambil berseru:

 

“Adamusuh datang menyerang, silahkan Im siangkong menunggu sejenak, selesai membereskan urusan ini, aku pasti akan menemani siangkong untuk bertemu dengan Tongcu dari lembah Hian-im-kok, gua Siau-hun-tong”

 

Im Bong-siang dapat merasakan, walaupun Suma Cing-peng hanya seorang dayang, namun kepandaian silat yang dimilikinya sangat tangguh, dia memang ingin melihat sampai dimana kemampuan yang dimiliki serta berasal dari mana aliran silatnya.

 

Maka diapun mengangguk setelah mendengar perkataan itu, ujarnya:

 

“Baiklah, aku akan menyingkir sementara waktu, silahkan nona Suma hadapi dulu musuh musuhmu”

 

Dengan satu gerakan badan, tidak Nampak jelas jurus apa yang digunakan, tahu tahu pemuda itu sudah melambung empat depa ke tengah udara dan menyembunyikan diri dibelakang tumbuhan rotan diatas tebing karang.

 

Demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang dipertontonkan pemuda itu kembali membuat Suma Cing-peng tertegun, dia tahu nama besar Hong-liu-sam-kiam memang bukan nama kosong belaka.

 

Sekalipun Ciong-hay-bu-san Im Bong-siang masih muda, tampan dan sedikit romantis, namun kesempurnaan ilmu silatnya telah mencapai puncak kematangan  yang pantas disejajarkan dengan jagoan nomor wahid di dunia ini, hal mana membuat Suma Cing-peng diam diam semakin terpikat oleh kehebatannya.

 

Sementara nona itu masih melamun, sesosok bayangan manusia secepat sambaran kilat telah meluncur datang.

 

Ketika bayangan itu baru mencapai belasan depa dari hadapannya, Suma Cing-peng sudah merasakan kehadirannya, cepat dia memusatkan kembali konsentrasinya sambil mengawasi kedatangan orang itu.

 

Ternyata orang itu adalah seorang sastrawan berbaju hijau yang berusia tiga puluh satu, dua tahunan dan membawa sebuah kipas.

 

Sebenarnya wajah sastrawan berbaju hijau ini termasuk tampan dan menawan, tapi berhubung Suma Cing-peng baru saja bertemu dengan Im Bong-siang, pemuda yang ibarat sebutir mutiara raksasa, dia pun berpendapat bahwa sastrawan baju hijau yang datang belakangan sangat memuakkan.

 

Baru saja Suma Cing-peng membalikkan badannya, sastrawan berbaju hijau itu sudah berhenti berapa jengkal dihadapannya dan menyapa sambil tersenyum:

 

“Nona, boleh tahu apakah tempat ini adalah Lembah Hian-im-kok di bukit Lak-cau-san?”

 

Kecuali suara pekikan nyaringnya yang kedengaran menusuk pendengaran, ternyata cara berbicara sastrawan berbaju hijau ini sangat halus, lembut dan sopan, sama sekali tak Nampak menyebalkan.

 

Namun Suma Cing-peng malas untuk menjawab, dia hanya mengangguk pelan.

 

“Apakah Lak-cau-siancu (dewi dari Lak-cau) Ouyang Hui berada dalam lembah?” kembali sastrawan berbaju hijau itu bertanya.

 

Sikap Suma Cing-peng masih dingin dan kaku, dia melirik sastrawan itu sekejap, lalu dengan hambar balik bertanya:

 

“Siapa kau?Adaurusan apa ingin bertemu dengan Ouyang siancu?”

 

Saat itulah sastrawan berbaju hijau itu baru merasakan sikap dingin dan ketus dari gadis itu, kontan keningnya berkerut.

 

“Cayhe dari marga Liong bernama Siang” ujarnya, “sewaktu berada di bukit Ko-le-koan-san tempo hari, pernah berjumpa muka dengan Ouyang siancu, bila nona kenal dengan siancu, tolong sampaikan kalau Yin-hun-sici (utusan kabut tebal)  dari Bukit manusia liar (Ya-jin-san) lembah Tun-yang-kok (lembah hawa Yang), mohon bertemu”

 

Agak berubah paras muka Suma Cing-peng.

 

“Jadi sahabat Liong datang dari Ya-jin-san, Tun-yang-kok?”

 

“Benar” Liong Siang mengangguk, “cayhe mendapat perintah untuk mengundang kehadiran Ouyang siancu di bukit Ya-jin-san, guna menghadiri pertemuan akbar Im-Yang thayhwee, sebuah pertemuan saling bertatap muka”

 

“Pertemuan akbar Im-yang thayhwee? Sebuah pertemuan saling bertatap muka?”

 

Sekulum senyuman misterius segera muncul diujung bibir Liong Siang, cepat dia mengangguk.

 

“Benar, pertemuan saling bertatap muka adalah sebuah pertemuan yang sangat menarik, bukan saja menjadi ajang pertemuan sekawanan jago persilatan, pertemuan inipun merupakan sebuah pertemuan yang akan dihadiri banyak lelaki tampan dan wanita cantik, dalam pertemuan ini semua orang boleh menyalurkan  napsu cinta maupun napsu birahinya, boleh dibilang sebuah pertemuan akbar kaum Hong-liu-hwee!”

 

Tiba tiba Suma Cing-peng menarik wajahnya dan berkata ketus:

 

“Sobat Liong, silahkan kembali dan sampaikan kepada Tun-yang kokcu bahwa majikan kami Hian-im kokcu tak akan menghadiri pertemuan akbar ini”

 

Mendengar jawaban tersebut Liong Siang agak melengak, ditatapnya wajah gadis itu tajam, lalu tegurnya dengan kening berkerut:

 

“Apa maksud perkataan nona? Apakah kau berhak mewakiliki Hian-im kokcu, Ouyang siancu untuk mengambil keputusan?”

 

“Ouyang siancu adalah majikanku, tentu saja aku tahun kalau beliau enggan berjumpa denganmu, aku pun tentu tahu juga kalau beliau akan menampik undangan dari Tun-yang kokcu”

 

“Darimana nona bisa tahu kalau Ouyang siancu enggan berjumpa denganku? Bukankah tadi sudah kujelaskan, aku pernah berkenalan dengan Ouyang siancu ketika berada di bukit Ko-li-koan-san?”

 

Suma Cing-peng tertawa dingin.

 

“Justru lantaran perkenalan itu, sekembali dari bukit Ko-li-koan-san siancu bercerita kalau beliau telah bertemu seseorang yang sangat memuakkan, bahkan kemungkinan besar akan datang mengganggu, karena itu aku diperintahkan untuk mengusirnya, agar tidak membuat siancu bertambah jengkel”

 

Paras muka Liong Siang berubah hebat, tapi sesaat kemudian dengan kening berkerut dan tertawa tergelak serunya:

 

“Hahahaha…. Dalam perjalanan menikmati keindahan alam di bukit Ko-li-koan-si, sudah pasti Ouyang siancu telah bertemu banyak orang, belum tentu orang menyebalkan yang dia maksud adalah diriku, nona, tolong sampaikan kedatanganku ini, tentang apakah siancu bersedia menghadiri pertemuan Im-yang yang diadakan Kokcu kami atau tidak, biarlah dia memutuskan sendiri”

 

“Percuma, tak usah mencari penyakit” Suma Cing-peng gelengkan kepalanya berulang kali, “siancu pernah melukiskan bentuk rupa orang yang menyebalkan itu, dan Sembilan puluh persen mirip sekali dengan tampang mukamu”

 

Melihat Suma Cing-peng berulang kali bersikap tak sungkan, bahkan cenderung mencari kesulitan bagi dirinya, lama kelamaan berkobar juga hawa amarahLiong Siang,iamendengus dingin.

 

“Nona!” serunya, “bila kau tak mau melapor, terpaksa aku orang she-Liong akan masuk sendiri ke dalam lembah untuk menjumpai Ouyang siancu”

 

Selesai berkata ia langsung melangkah masuk ke dalam lembah.

 

“Berhenti!” bentak Suma Cing-peng gusar.

 

“Kenapa? Nona ingin menghadang perjalananku?”

 

“Sudah cukup sopan aku hanya minta kau pergi dari sini, kenapa? Ingin aku usir dengan cara kasar?”

 

Berkilat sepasang mata Liong Siang, serunya:

 

“Orang bilang Dari dulu hingga sekarang hembusan angin cahaya rembulan tak pernah berubah, memang siapa pemilik hutan dan sumber air?  Bila aku orang she-Liong tetap memaksakan kehendak untuk memasuki Lembah Hian-im-kok, sambil menikmati pemandangan alam sambil menyambangi majikan anda, apa pula yang hendak nona lakukan?”

 

“Itu berarti kau mencari penyakit, diberi arak kehormatan tak mau malah memilih arak hukuman!”

 

“Bagus, bagus sekali” Liong Siang manggut manggut sambil tertawa, “watakku memang bandel dan keras kepala, kalau begitu biar aku cicipi bagaimana rasanya arak hukumanmu”

 

Berbicara sampai disitu, tanpa menggubris apakah Suma Cing-peng akan menghalangi perjalanannya atau tidak, perlahan ia melanjutkan langkahnya menuju ke dalam lembah.

 

Betapa gusarnya Suma Cing-peng ketika melihat sikap angkuh lawannya, bahkan seolah tak pandang sebelah mata pun terhadap dirinya, dengan kening berkerut ia langsung melepaskan sebuah pukulan dahsyat.

 

Liong siang menjengek dingin, pertama karena dia yakin dengan tenaga khikang hasil latihannya, kedua dia menyaksikan pukulan yang dilontarkan Suma Cing-peng meski cepat namun tenaga pukulannya sangat lemah, maka bukannya berkelit atau menangkis, malah jengeknya sambil tertawa:

 

“Buat apa nona marah marah? Baiklah, biar aku cicipi sampai dimana kehebatan tenaga pukulan dari lembah Hian-im-kok, anggap saja sebagai kehormatanku untuk menerima arak hukumanmu”

 

Baru selesai dia bicara, telapak tangan Suma Cing-peng yang putih halus telah menghajar bahu kiri Liong Siang.

 

Tiba tiba Liong Siang merasakan pancaran hawa dingin yang aneh dan membekukan memancar keluar dari telapak tangan lawan, baru saja ujung jari itu menyentuh jubahnya, pancaran hawa dingin telah menyusup hingga ke ulu hatinya, diam diam ia bercekat dan sadar kalau gelagat tidak menguntungkan.

 

Menanti ia siap untuk mundur, keadaan sudah terlambat, separuh badannya seakan tercebur ke sungai es yang membekukan, hawa dingin menyusup ke dalam tubuhnya membuat sekujur badannya gemetar keras.

 

Dorongan lembut dari gadis itu seketika membuatnya sempoyongan dan mundur sejauh tiga, empat langkah.

 

Dengan wajah sinis penuh ejekan Suma Cing-peng menarik kembali tangannya.

 

“Bagaimana sobat Liong?” ejeknya dingin, “enak bukan arak hukumanku ini?”

 

Mula mula paras muka Liong Siang memerah, menyusul kemudian dengan wajah hijau memucat dan sinar bengis memancar dari balik matanya, ia menyahut sambil menyeringai buas:

 

“Hmm, sedap juga rasanya. Tapi aku bukan orang yang picik pikiran, arak hukumanmu masih bisa kuterima! Nona……”

 

Dengan sorot mata yang buas dan kejam ia tatap wajah Suma Cing-peng lekat lekat, kemudian tambahnya:

 

“Setelah menerima secawan arak hukuman, sepantasnya kalau akupun balas menghormati arak untukmu, hati hati nona!”

 

“Sreet!” kipas yang ada digenggamannya segera dipentangkan lebar.

 

Kipas ini selain terbuat dalam bentuk yang lebih besar, dari balik permukaan kipas yang berwarna hitam pun memancarkan cahaya keemasan, hal ini membuktikan kalau bahannya bukan kertas melainkan terbuat dari sejenis bahan aneh yang merupakan campuran logam dengan emas.

 

Suma Cing-peng sendiri mesti tidak mengetahui asal usul kipas tersebut, namun dari bahan yang digunakan untuk membentuk senjata itu dia bisa menduga kalau kipas tersebut pasti memiliki kedahsyatan yang menakutkan.

 

Setelah menggenggam kipasnya, kembali Liong Siang berteriak:

 

“Nona, cabut keluar senjata mu, kipas Tui-hun-san (kipas pengejar sukma) milikku tak pernah melukai manusia yang bertangan kosong!”

 

Suma Cing-peng mendengus sinis. Katanya:

 

“Sudah cukup banyak jenis senjata yang kusaksikan, hanya sebuah kipas pengejar sukma ……….”

 

Belum selesai ia berkata, mendadak terdengar suara gelak tertawa yang amat nyaring berkumandang dari tengah udara.

 

Begitu mendengar gelak tertawa itu, Liong Siang kembali berdiri tertegun.

 

Tentu saja Suma Cing-peng tahu kalau orang yang tertawa nyaring itu tak lain adalah salah satu dari Hong-liu-sam-kiam, yakni Ciong-hay-wu-san Im Bong-siang.

 

Tapi, bukankah tadi Im Bong-sioang bersembunyi dibalik semak dan rotan disisi kanan dinding tebing? Bagaimana mungkin suara gelak tertawa itu berasal dari atas pohon siong yang berada di sisi kiri tebing?

 

Jangan dilihat Suma Cing-peng hanya seorang dayang, pengetahuan dan pengalamannya cukup luas dan hebat. Ia tahu  kejadian aneh ini bukan disebabkan Im Bong-siang secara tiba tiba menggeser posisi tubuhnya dari kanan menuju ke tebing kiri. Yang benar si jagoan hebat ini telah menggunakan ilmu Lak-hap-coan-im untuk mengacaukan gema suaranya.

 

Liong Siang yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya jadi tertegun, cepat dia alihkan sorot matanya ke dinding sebelah kiri, kemudian hardiknya:

 

“Sobat mana yang bersembunyi diatas pohon siong? Buat apa kau tertawa sambil bersembunyi? Kalau berani, ayoh tampilkan dirimu!”

 

Baru saja ia tutup mulut, tiba tiba terdengar seseorang menyahut dari dua, tiga depa di belakang tubuhnya:

 

“Huhh, ternyata ketajaman pendengaranmu sangat cetek, aku berada disini, bukan berada diatas pohon siong itu”

 

Dengan cekatan Liong Siang berpaling, lagi lagi hatinya tercekat.

 

Adatiga alasan yang membuatnya terkesiap:

 

Pertama, dia kaget karena orang yang tertawa itu bisa muncul secara tiba tiba dari belakang tubuhnya, padahal dengan jelas ia mendengar kalau gelak tertawa itu berasal dari atas pohon siong diatas dinding sebelah kiri.

 

Ke dua. Dengan jelas diapun tahu kalau belakang tubuhnya tak ada manusia lain, tapi kenyataannya sekarang orang itu bisa muncul secara tiba tiba tanpa diketahui olehnya, mungkinkah ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan?

 

Ke tiga. Dia tak mengira kalau orang itu hanya seorang pemuda berbaju putih yang begitu tampan dan anggun, bahkan ketampanannya membuat dia yang selama ini menganggap dirinya paling tampan pun seolah tak bercahaya lagi.

 

Dalam terkesiapnya, sikap bengis dan jumawanya pun seketika berkurang banyak.Buruburu ia menjura sambil menyapa:

 

“Siapa kau? Mengapa tertawa tergelak?”

 

Im Bong-siang sama sekali tidak memperkenalkan diri, sambil mencibir sinis sahutnya:

 

“Aku tertawa karena melihat kau adalah manusia yang tak tahu malu!”

 

Bila berada diwaktu biasa, Liong Siang pasti akan mencak mencak kegusaran setelah mendengar perkataan itu, tapi sekarang, dia seolah sudah dibuat tercengang oleh kegagahan Im Bong-siang, meski ucapan itu merupakan satu penghinaan, ia berusaha untuk tetap sabar.

 

Dengan kening berkerut ditatapnya wajah pemuda itu berapa saat, kemudian tanyanya:

 

“Boleh tahu, dalam hal apa  aku dianggap tak tahu malu?”

 

Setelah melirik Suma Cing-peng sekejap, ujar Im Bong-siang sambil tertawa:

 

“Sebagai seorang lelaki kosen, apalagi sebagai utusan dari lembah Tun-yang-kok, masa tak tahan menghadapi pukulan Hian-im-ciang dari nona Suto? Hahaha…. Seharusnya kau tahu diri, mending cepatan mundur saja…….”

 

Semu merah raut muka Liong Siang sehabis mendengar perkataan itu, tapi dia cepat membantah:

 

“Kita masing masing memiliki kelebihan dalam ilmu silat yang diyakini….. memang betul ilmu pukulan Hian-im-ciang dari nona Suma cukup tangguh, tapi aku tidak puas, aku masih ingin menjajal kemampuan nona Suma dalam menggunakan senjata”

 

“Sanggahan yang masuk diakal” Im Bong-siang manggut manggut, “tapi boleh aku tahu senjata apa yang menjadi andalanmu?”

 

“Sreeet!” Liong Siang menutup kipas yang ada dalam genggamannya, lalu sambil mengetukkan gagang kipas ke tangan kiri sahutnya congkak:

 

“Senjataku ini terbuat dari campuran tembaga Hong-mo-thong dengan inti baja, orang menyebutnya sebagai Tui-hun-san (kipas pengejar sukma)………..”

 

“Ehmm, kurang sedikit, masih kurang sedikit” tukas Im Bong-seng tiba tiba sambil mencibir.

 

Liong Siang melengak, dengan kening berkerut tegurnya:

 

“Apa maksud anda dengan perkataan kurang sedikit?”

 

Im Bong-seng mendengus dingin, tiba tiba paras mukanya berubah membeku.

 

“Kau hanya menjelaskan bahan pembuatan senjata ini, kenapa tidak sekalian menerangkan juga permainan busuk apa yang kau sembunyikan dibalik tulang kipas? Bukankah penjelasanmu masih kurang sedikit………”

 

Baru saja Liong Siang merasa tercekat, terdengar Im Bong-siang berkata lebih lanjut:

 

“Selain itu, kau mengaku senjatamu bernama Tui-hun-san kipas pengejar sukma, padahal nama yang sesungguhnya adalah Siau-hun-san kipas pembuyar sukma, bukankah  penjelasanmu masih kurang?”

 

Bicara sampai disitu, diapun berpaling kearah Suma Cing-peng sambil melanjutkan:

 

“Nona Suma, tahukah kau dibalik ke tiga belas kerat tulang kipas siau-hun-san miliknya tersembunyi tujuh batang senjata rahasia yang amat beracun serta enam batang  jarum yang sudah dipolesi bubuk obat perangsang, obat jahat yang bisa membuat siapa pun yang terkena menjadi bangkit birahinya? Bila ada yang sampai terkena, sang korban akan mati kehabisan tenaga karena terbakar oleh birahi yang luar biasa, itulah sebabnya kipas itu dinamakan kipas pembuyar sukma. Senjata itu merupakan ciptaan Siau-hun thayswie (Dewa pembuyar sukma) Coat Thong di masa lalu, semuanya berjumlah tiga buah dan diwariskan kepada murid murid perguruannya, tapi lantaran kelewat jahat, senjata itu sudah dianggap sebagai senjata tabu oleh para tetua dunia persilatan…..”

 

Bicara sampai disitu, ia berhenti sejenak seraya berpaling, kepada Liong Siang yang masih berdiri dengan wajah tercengang, tanyanya lagi dengan suara dalam:

 

“Apa yang kuucapkan tidak salah bukan? Karena kaupun memiliki kipas tersebut, berarti kau adalah salah satu murid durhaka dari Siau-hun Thayswee Coat Thong!”

 

“Kalau benar, mau apa kamu?”

 

“Jadi gurumu, si dewa pembuyar sukma Coat Thong pun berada di lembah Tun-yang-kok?”

 

Pada mulanya Liong Siang ingin menyangkal, tapi setelah berpikir sejenak dia pun mengangguk.

 

“Betul, guruku adalah salah satu diantara empat duta persembahan dari lembah Tun-yang-kok”

 

“Lantas siapa tiga orang duta persembahan lainnya?’ Tanya Im Bong-siang keheranan.

 

“Mereka adalah Bi-lek………..”

 

Baru dua patah kata diucapkan, Liong Siang segera menghentikan perkataannya dan menegur sambil tertawa dingin:

 

“Apa maksud anda mencari tahu soal ini? Kenapa aku harus memberitahukan kepadamu?”

 

Melihat pihak lawan enggan menyebut ke tiga nama duta penyembahan yang laen, Im Bong-siang pun tidak mendesak lebih jauh, hanya serunya tiba tiba sambil menjulurkan tangannya:

 

“Bawa kemari!”

 

“Apanya yang bawa kemari?”

 

“Apa lagi kalau bukan kipas pembuyar sukma Siau-hun-san yang sudah kau gunakan untuk memperkosa banyak wanita suci”

 

“Hmmm, mimpi!” Liong Siang tertawa dingin, “kipas ini merupakan senjata mustika pemberian guruku, kenapa harus kuserahkan kepadamu?”

 

Im Bong-siang mendengus ketus.

 

“Kalau begitu aku beritahu, bila kau bersedia menyerahkan kipas siau-hun-san itu, mungkin akupun masih bisa pertimbangkan untuk bebaskan dirimu dengan selamat sekalian titip berapa kata peringatan untuk gurumu, kalau tidak……..hmm, hmmm, sekalipun tak sampai mencabut nyawamu, paling tidak kau harus tinggalkan dulu lengan kanan yang selama ini kau pakai untuk menggenggam kipas terkutuk itu……..”

 

Belum selesai ucapan itu disampaikan, tiba tiba Liong Siang merangsek maju, kipas siau-hun-san dalam genggamannya dipakai sebagai senjata poan-koan-pit, dengan gerakan kui-seng-tiam-goan (bintang penolong menutul hawa murni) langsung menyodok jalan darah Ciang-tay-hiat dibadan lawan.

 

“Bedebah tak tahu diri!” umpatnya, “kau sangka begitu gampang untuk merampas kipas siau-hun-san ku?”

 

Biarpun jurus serangan kui-seng-tiam-goan ini Nampak ganas dan menakutkan, sesungguhnya gerakan itu hanya tipuan kosong belaka, dia berniat menunggu sampai musuh siap berkelit, senjata kipasnya baru dipentangkan lalu dengan andalkan senjata rahasia beracun yang disembunyikan dibalik tulang kipas mencelakai Im Bong-siang.

 

Selain itu, diapun berniat menggunakan bubuk perangsangnya untuk merobohkan Suma Cing-peng, dengan begitu dalam satu gebrakan dia bisa menaklukkan dua orang sekaligus.

 

Rencana dari Liong Siang ini boleh dibilang sangat licik dan keji, bila sampai terlaksana, dapat dipastikan Suma Cing-peng akan terangsang napsu birahinya.

 

Tentu saja mimpi pun dia tak menyangka kalau musuh yang sedang dihadapi sekarang tak lain adalah salah satu dari Hong-liu-sam-kiam, tiga jagoan pedang romantis. Ciong-hay-wu-san Im Bong-siang!!

 

Biarpun sedang menghadapi ancaman yang begitu menakutkan, Im Bong-siang sama sekali bergeming, ia tetap berdiri tenang bagaikan sebuah bukit karang, sama sekali tak bergerak.

 

Menghadapi situasi seperti ini, terpaksa Liong Siang berganti taktik, serangan yang semula Cuma tipuan seketika dirubah jadi ancaman beneran.

 

Tenaga dalamnya segera dihimpun dalam lengan kanan, dengan ujung kipas dia totok jalan darah ciang-tay-hiat dibadan lawan.

 

“Hmm, akan kulihat apa yang bisa kau perbuat?” demikian pikirnya,  “Jangan disangka sodokanku hanya serangan biasa, asal kupencet alat rahasia, dua batang jarum beracun yang tersembunyi dibalik kipas segera akan menyambar keluar. Biar pun tubuhmu dilindungi hawa khiekang sebangsa cap-sah-taypo pun, tanggung pertahananmu bakal jebol. Huuh…. Berani amat kau bersikap jumawa dengan tidak menghindar……..”

 

Baru selesai ingatan itu melintas lewat, tiba tiba tangannya terasa bergetar keras.

 

Entah bagaimana caranya, tahu tahu kipas siau-hun-san miliknya telah dijepit oleh ibu jari, jari tengah dan jari telunjuk Im Bong-siang dengan satu gerakan yang tak terlukiskan cepatnya.

 

Japitan ke tiga jari tangan itu bagaikan sebuah japitan baja yang mengunci kipas siau-hun-san itu, bukan saja membuat Liong Siang tak sanggup merentangkan kembali kipasnya, bahkan jarum beracun yang tersimpan dibalik tulang kipas pun tak sanggup dipancarkan keluar.

 

Sadar kalau gelagat tidak menguntungkan, buru buru dia lepaskan genggamannya sambil melejit ke udara, dengan berapa kali lompatan ia berusaha melarikan diri dari tempat itu.

 

“Hahahaha….. masih ingin kabur?” terdengar Im Bong-siang tertawa terbahak-bahak, “jangan lupa dengan ucapanku tadi, kau harus tinggalkan juga lengan kanan yang selama ini kau gunakan untuk menggenggam senjata”

 

Ditengah gelak tertawa nyaring, kembali terdengar suara desingan tajam bergema di udara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tentang Tjan I.D

Tjan ID, mulai menterjemahkan buku cerita silat di tahun 1969, judul pertama adalah: Tujuh Pusaka Rimba persilatan. hingga kini, tahun 2016, saya masih aktif menterjemahkan.
Pos ini dipublikasikan di Cerita silat bersambung.. Tandai permalink.

6 Balasan ke Lembah Im Yang Bab 1.

  1. DON YOSE berkata:

    mantapz…

  2. wisnu berkata:

    kerenn…mana lanjutannya om Tjan ?-

  3. Rico berkata:

    Wow..ceritanya ngeri sekali om Tjan !

  4. Tjan I.D berkata:

    Akan terbit berupa buku pada bulan Mei 2013, kemudian akan dimuat bersambung di http://www.tjersil.com

  5. Michelle Liu berkata:

    om mau jadi member bagaimana cara nya

Tinggalkan Balasan ke DON YOSE Batalkan balasan